Mengenal 'Garamata', Pahlawan Nasional dari Tanah Karo
Masih sedikit orang yang mengenal sosok Kiras Bangun, khususnya masyarakat Sumatera Utara. Padahal, tokoh dari Karo yang dijuluki Garamata ini sudah diangkat menjadi Pahlawan Nasional pada 2005 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Seperti yang diakui Lita, mahasiswa PPKN di UMN Medan. Nama itu belum pernah ia dengar sama sekali. Begitu juga dengan Thesa, siswi kelas VII Antonius Medan. Pahlawan Nasional yang ia tahu hanya Sisingamangaraja XII.
Hal ini mendapat perhatian dari sejarawan dari Unimed, Phil Ichwan Azhari. Menurutnya, sosialasi atas tokoh-tokoh itu tidak bisa hanya mengandalkan media, tetapi juga harus dimasukkan dalam kurikulum sekolah.
Profil Kiras Bangun memang sudah diterbitkan dalam buku. Salah satunya berjudul “Kiras Bangun Melawan Belanda.
”Tetapi hal itu belum cukup. Ia harus dimasukkan dalam buku ajar, sehingga sosialisasinya dapat lebih luas,” kata Ichwan.
Padahal, lanjut Ichwan, ada beberapa tokoh asal Sumatera Utara yang telah menjadi Pahlawan Nasional. Seperti Sisingamangaraja XII, Adam Malik, Amir Hamzah, AH Nasution, Kiras Bangun, FL Tobing, Muhammad Hasan dan satu pahlawan revolusi yaitu DI Panjaitan. Namun kecenderungan para pelajar kita hanya tahu Sisingamangaraja XII saja.
Selain itu, masih banyak tokoh-tokoh lain dari Sumatera Utara yang juga layak untuk jadi Pahlawan Nasional. Antara lain, Datuk Sunggal (pemimpin Perang Sunggal), Bedjo (pemimpin Pertempuran Medan Area), Raja Sang Na Ulauh Damanik (tokoh dari Siantar yang menolak kolonial di Siantar).
Selain itu, Raja Rondahaim Saragih (tokoh dari Raya yang menolak kolonial), Sultan Mahmud Perkasa Alamsjah (tokoh pembangun Kota Medan), Parada Harahap (tokoh pers Sumatera Utara), Adinegoro (tokoh pers Sumatera Utara), Willem Iskandar (tokoh pendidikan), Abdoellah Loebis (tokoh pendidikan) dan Raja Orahili dari Nias.
“Nama-nama ini harus dieksplorasi lebih mendalam terutama oleh sejarawan,” kata Ichwan.
Memimpin Urung
Dalam berbagai literatur, termasuk buku “Kiras Bangun Melawan Belanda” tulisan Berontak Bangun, banyak hal yang diungkap tentang sosok tokoh ini. Di antaranya bagaimana ia memimpin gerakan bawah tanah dengan aktif menggerakkan urung/kampung melawan Belanda.
Kiras Bangun lahir di Batukarang sekitar tahun 1852 dan meninggal 1942 dalam tawanan Belanda.
Perang masyarakat Karo melawan Belanda bermula dari keinginan Belanda untuk memperluas kebun tembakau yang mereka kuasai. Pada tahun 1870, Belanda telah menduduki Sumatera Timur, yaitu di Langkat dan sekitar Binjai membuka perkebunan tembakau dan karet. Belanda ingin memperluas usaha perkebunan ke Tanah Karo. Tujuan Belanda itu ditolak Kiras Bangun dan tokoh-tokoh masyarakat setelah mereka berdiskusi. Namun Belanda tetap ngotot akan memperluas perkebunannya di Karo.
Pada tahun 1902, dengan mengirim Guillaume bersama sejumlah serdadu Belanda sebagai pengawalnya ke Tanah Karo, Garamata memberikan beberapa kali peringatan untuk meninggalkan Tanah Karo.
Dengan bantuan kepala urung dan tokoh-tokoh masyarakat, Garamata berhasil mengusir Guillaume, setelah 3 bulan bermukim di Kabanjahe.
Sejak pengusiran itu timbullah puncak permusuhan dengan Belanda. Menyadari itu, Garamata membentuk pasukan Urung dan mendirikan benteng pertahanan di tiap-tiap Urung.
Persenjataan pasukan Urung terdiri dari pedang, parang, tombak, dan senapan (dalam jumlah terbatas) yang tersedia di urung masing-masing.
Pada tahun 1904 serdadu ekspedisi Belanda datang dari Aceh melalui Gayo Alas dan Dairi menuju Medan. Dalam perjalanannya ke Medan melalui Tanah Karo, pasukan tersebut memasuki kampung Seberaya dimana saat itu terjadi perang saudara. Dalam perjalanan pasukan Belanda mampir di kampung Sukajulu terjadi pertempuran dengan pasukan Simbisa Urung.
Belanda berhasil menduduki Kabanjahe. Garamata dan pasukannya mendirikan beberapa benteng pertahanan antara lain di jalan Surbakti-Lingga Julu (Kabanjahe Selatan) dan sepanjang jalan Kandibata-Kacaribu (Kabanjahe Barat) sedangkan pos komando berkedudukan di Beganding (Kabanjahe Tenggara).
Pertempuran demi pertempuran terus berlanjut di berbagai tempat. Karena senjata yang tak berimbang, mereka pun terdesak. Satu persatu benteng pertahanan itu dapat dikuasai.
Karena kewalahan menghadapi perlawanan pasukan Garamata, Belanda akhirnya mengirim utusan untuk berunding kepada Garamata.
Mengingat banyaknya korban terutama dari pasukan dan pengikut Garamata, ia pun mempertimbangkan undangan tersebut. Namun bukannya berunding, Garamata ditangkap dan dibuang diasingkan selama 4 tahun ke pengasingan di sebuah perladangan.
Garamata meninggal dunia di usia 90 tahun, tepatnya pada tahun 1942.
Meski sudah 12 tahun, tetapi nama Kiras Bangun belum begitu dikenal. Beberapa mahasiswa yang ditanyai bahkan ada yang sama sekali tidak pernah dengar sosok ini.
Seperti yang diakui Lita, mahasiswa PPKN di UMN Medan. Nama itu belum pernah ia dengar sama sekali. Begitu juga dengan Thesa, siswi kelas VII Antonius Medan. Pahlawan Nasional yang ia tahu hanya Sisingamangaraja XII.
Hal ini mendapat perhatian dari sejarawan dari Unimed, Phil Ichwan Azhari. Menurutnya, sosialasi atas tokoh-tokoh itu tidak bisa hanya mengandalkan media, tetapi juga harus dimasukkan dalam kurikulum sekolah.
Profil Kiras Bangun memang sudah diterbitkan dalam buku. Salah satunya berjudul “Kiras Bangun Melawan Belanda.
”Tetapi hal itu belum cukup. Ia harus dimasukkan dalam buku ajar, sehingga sosialisasinya dapat lebih luas,” kata Ichwan.
Padahal, lanjut Ichwan, ada beberapa tokoh asal Sumatera Utara yang telah menjadi Pahlawan Nasional. Seperti Sisingamangaraja XII, Adam Malik, Amir Hamzah, AH Nasution, Kiras Bangun, FL Tobing, Muhammad Hasan dan satu pahlawan revolusi yaitu DI Panjaitan. Namun kecenderungan para pelajar kita hanya tahu Sisingamangaraja XII saja.
Selain itu, masih banyak tokoh-tokoh lain dari Sumatera Utara yang juga layak untuk jadi Pahlawan Nasional. Antara lain, Datuk Sunggal (pemimpin Perang Sunggal), Bedjo (pemimpin Pertempuran Medan Area), Raja Sang Na Ulauh Damanik (tokoh dari Siantar yang menolak kolonial di Siantar).
Selain itu, Raja Rondahaim Saragih (tokoh dari Raya yang menolak kolonial), Sultan Mahmud Perkasa Alamsjah (tokoh pembangun Kota Medan), Parada Harahap (tokoh pers Sumatera Utara), Adinegoro (tokoh pers Sumatera Utara), Willem Iskandar (tokoh pendidikan), Abdoellah Loebis (tokoh pendidikan) dan Raja Orahili dari Nias.
“Nama-nama ini harus dieksplorasi lebih mendalam terutama oleh sejarawan,” kata Ichwan.
Memimpin Urung
Dalam berbagai literatur, termasuk buku “Kiras Bangun Melawan Belanda” tulisan Berontak Bangun, banyak hal yang diungkap tentang sosok tokoh ini. Di antaranya bagaimana ia memimpin gerakan bawah tanah dengan aktif menggerakkan urung/kampung melawan Belanda.
Kiras Bangun lahir di Batukarang sekitar tahun 1852 dan meninggal 1942 dalam tawanan Belanda.
Perang masyarakat Karo melawan Belanda bermula dari keinginan Belanda untuk memperluas kebun tembakau yang mereka kuasai. Pada tahun 1870, Belanda telah menduduki Sumatera Timur, yaitu di Langkat dan sekitar Binjai membuka perkebunan tembakau dan karet. Belanda ingin memperluas usaha perkebunan ke Tanah Karo. Tujuan Belanda itu ditolak Kiras Bangun dan tokoh-tokoh masyarakat setelah mereka berdiskusi. Namun Belanda tetap ngotot akan memperluas perkebunannya di Karo.
Pada tahun 1902, dengan mengirim Guillaume bersama sejumlah serdadu Belanda sebagai pengawalnya ke Tanah Karo, Garamata memberikan beberapa kali peringatan untuk meninggalkan Tanah Karo.
Dengan bantuan kepala urung dan tokoh-tokoh masyarakat, Garamata berhasil mengusir Guillaume, setelah 3 bulan bermukim di Kabanjahe.
Sejak pengusiran itu timbullah puncak permusuhan dengan Belanda. Menyadari itu, Garamata membentuk pasukan Urung dan mendirikan benteng pertahanan di tiap-tiap Urung.
Persenjataan pasukan Urung terdiri dari pedang, parang, tombak, dan senapan (dalam jumlah terbatas) yang tersedia di urung masing-masing.
Pada tahun 1904 serdadu ekspedisi Belanda datang dari Aceh melalui Gayo Alas dan Dairi menuju Medan. Dalam perjalanannya ke Medan melalui Tanah Karo, pasukan tersebut memasuki kampung Seberaya dimana saat itu terjadi perang saudara. Dalam perjalanan pasukan Belanda mampir di kampung Sukajulu terjadi pertempuran dengan pasukan Simbisa Urung.
Belanda berhasil menduduki Kabanjahe. Garamata dan pasukannya mendirikan beberapa benteng pertahanan antara lain di jalan Surbakti-Lingga Julu (Kabanjahe Selatan) dan sepanjang jalan Kandibata-Kacaribu (Kabanjahe Barat) sedangkan pos komando berkedudukan di Beganding (Kabanjahe Tenggara).
Pertempuran demi pertempuran terus berlanjut di berbagai tempat. Karena senjata yang tak berimbang, mereka pun terdesak. Satu persatu benteng pertahanan itu dapat dikuasai.
Karena kewalahan menghadapi perlawanan pasukan Garamata, Belanda akhirnya mengirim utusan untuk berunding kepada Garamata.
Mengingat banyaknya korban terutama dari pasukan dan pengikut Garamata, ia pun mempertimbangkan undangan tersebut. Namun bukannya berunding, Garamata ditangkap dan dibuang diasingkan selama 4 tahun ke pengasingan di sebuah perladangan.
Garamata meninggal dunia di usia 90 tahun, tepatnya pada tahun 1942.